Awan aneh yang terlihat sebelum gempa di Kobe tahun 1995 (flickrs.com)
VIVAnews - Empat fenomena alam terjadi dalam kurun 24 jam sehingga memunculkan spekulasi mereka saling berkaitan. Fenomena pertama, awan tegak lurus siang hari di Kota Padang; kedua, gempa bumi berpusat di lepas pantai Sukabumi pukul 18.18; ketiga, bulan purnama; dan keempat, pagi ini, di Kota Yogyakarta, muncul fenomena bak awan terbelah.
Apakah keempatnya berkaitan?
Ahli Paleotsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, mengatakan, hubungan antara supermoon dengan gempa masih spekulatif. “Belum ada pola yang bisa dijadikan patokan,” kata dia kepada VIVAnews, Senin 4 Juni 2012 malam.
Dia menceritakan, analisa pengaruh daya tarik bulan dan gempa bumi sudah lama diteliti para ahli. “Sejak tahun 1960-an, USGS sudah mengkajinya. Belum bisa ditemukan pola hubungan dengan hubungan pasti,” ujar dia.
Demikian pula dengan awan tegak lurus yang diduga pertanda gempa, sama spekulatifnya. “Bentuk tegak lurus tergantung posisi awan, dan posisi yang melihatnya,” kata dia.
Sementara, Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengatakan, bulan purnama bukan penyebab tapi bisa jadi pemicu gempa.
Pendapat USGS
Sementara, ahli geologi USGS, Bill Burton mengatakan, ada banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas seismik. Juga, “ada perbedaan aktivitas tektonik selama fase bulan yang berbeda.”
Meski mengakui, pasang surut laut bisa menimbulkan efek kecil pada aktivitas tektonik, namun apakah itu bisa menyebabkan gempa, apalagi dengan kekuatan dahsyat, masih jadi perdebatan. “Beberapa gempa kecil yang dangkal mungkin bisa terjadi saat purnama atau supermoon.” Peningkatan tekanan air yang disebabkan oleh fase lunar dapat menyebabkan tremor yang sangat kecil.”
“Mungkin ada sedikit dorongan yang mengakibatkan lempeng tektonik menyelinap,” timpal Johnston. “Namun, secara keseluruhan, efeknya bisa diabaikan. Kecuali jika mengambil kesimpulan berdasarkan sepuluh ribu data gempa bumi, Anda dapat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara gempa dan pergerakan bulan. Tapi kalau hanya berdasarkan satu gempa saja, jangan.”
Sementara soal awan aneh yang diduga pertanda gempa, situs USGS menyebut, pada abad ke-4 sebelum Masehi, Aristoteles mengajukan teori bahwa gempa disebabkan angin yang terperangkap di gua-gua di bawah tanah.
Pergerakan angin yang mendorong atap gua diyakini menyebabkan gempa kecil, sementara gempa besar diakibatkan udara pecah di permukaan tanah. Teori ini jadi dasar bagi teori cuaca gempa, di mana diyakini cuaca akan panas dan tenang sebelum gempa terjadi.
Teori yang lebih modern mengaitkan formasi awan tertentu sebagai pertanda gempa. Ide yang ditolak sebagian besar geolog.
Temuan di Jepang
Gempa 9,0 skala Richter dan tsunami yang menerjang Jepang Jumat, 11 Maret 2011, menjadi inspirasi para ilmuwan untuk menemukan sistem peringatan dini bencana yang lebih akurat. Salah satu isu besar adalah benarkah langit memberikan pertanda sebelum malapetaka datang?
Seperti dimuat Daily Mail, para ilmuwan dari University of Illinois menangkap pertanda atmosfer terkait tsunami Jepang berupa pijaran udara (airglow) yang ditangkap sebuah observatorium di Pulau Hawaii. Gambaran tersebut ditemukan pada ketinggian 250 kilometer di atas permukaan Bumi, sekitar satu jam sebelum gelombang air raksasa menghantam perairan Jepang. Pijaran udara adalah lapisan kehijauan yang ditemukan saat kombinasi molekul dipisahkan oleh cahaya matahari.
Penemuan, yang dilaporkan dalam jurnal Geophysical Research Letters, juga menegaskan teori yang dikembangkan pada tahun 1970-an. Studi-studi ini menunjukkan bahwa tsunami bisa diobservasi dari bagian atas atmosfer, namun sampai saat ini baru bisa didemonstrasikan menggunakan sinyal radio.
Studi ini fokus pada fakta bahwa tsunami menghasilkan gelombang gravitasi atmosfer saat ombak melaju melintasi lautan. Gelombang-gelombang tsunami memiliki potensi untuk meregang beberapa kilometer ke langit dan menyebabkan perubahan yang dapat dicitrakan karena penurunan densitas udara.
Tim University of Illinois dipimpin oleh Jonathan Makela, seorang profesor teknik listrik dan komputer, membuat gambaran tersebut. Setelah itu, Makela, bersama mahasiswa pascasarjana Thomas Gehrels, bergabung dengan tim di Prancis dan Brasil di New York University untuk melakukan analisis rinci gambaran tersebut.
Sebelumnya, profesor ilmu bumi dari Chapman University di California, Dimitar Ouzounov, mengatakan bahwa ada keanehan di langit Jepang sebelum tsunami. Atmosfer di atas episentrum gempa Jepang mengalami perubahan tak biasa dalam beberapa hari menjelang bencana.
Pendapatnya itu didasari penelitian terhadap data satelit terkait gempa yang mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011: ada anomali atmosfer di atas episentrum gempa Jepang beberapa hari menjelang bencana.
Sebelum gempa bumi terjadi, patahan yang tertekan akan mengeluarkan lebih banyak gas, khususnya gas radon yang tidak berwarna dan tak berbau. Setelah berada di ionosfer, gas radon melepaskan molekul udara elektronnya, memisahkan partikel bermuatan negatif (elektron bebas) dan partikel bermuatan positif. Partikel-partikel bermuatan yang juga disebut ion, lantas menarik air dalam proses melepaskan panas. Dan, para ilmuwan bisa mendeteksi panas ini dalam bentuk radiasi inframerah.
Menggunakan data satelit, Ouzounov dan para koleganya mengawasi perubahan atmosfer yang terjadi beberapa hari sebelum gempa Jepang. Mereka menemukan, konsentrasi elektron dalam ionosfer meningkat, demikian juga dengan radiasi inframerah. Pada 8 Maret 2011, tiga hari sebelum gempa, adalah saat yang paling anomali.
Para peneliti juga telah mengumpulkan data lebih dari 100 gempa di Asia dan Taiwan. Menurut Ouzounov, mereka menemukan korelasi yang sama untuk gempa yang magnitudenya lebih besar dari 5,5 skala Richter dengan kedalaman kurang dari 50 kilometer. Tim saat ini sedang berusaha melibatkan para ahli gempa Jepang dan seluruh dunia dalam sebuah misi ambisius: pemantauan atmosfer internasional sebagai upaya mitigasi gempa.
Comments
Post a Comment